Click here to go to blog index
Peka jaman menggunakan sarana media Internet
2010-10-14 12:44:03Disampaikan pada TRIDUUM dalam rangka Ulang Tahun Paroki Katedral Randusari, KAS,
4 Oktober 2010
Robertus Setiawan Aji Nugroho
Fakultas Ilmu Komputer Unika SOEGIJAPRANATA
[email protected]
“Media have the ability to make every person everywhere “a partner in the business of the human race”
(Pastoral Instruction “Communio et Progressio”, On the means of social communication, 23rd of May, 1971)
Pendahuluan
Gereja telah menyadari sejak tiga puluh tahun yang lalu bahwa media komunikasi merupakan sesuatu yang mampu meningkatkan relasi iman maupun sebagai sarana distribusi informasi yang efektif. Salah satu media tersebut adalah Internet. Internet merupakan media komunikasi yang bisa dikatakan paling “powerful” saat ini, Internet bersifat instan, mendunia/global, interaktif, kaya aka nisi, fleksibel, dan mudah beradaptasi dengan jamannya.
Indonesia, sebagai negara yang mempunyai populasi lebih dari 200 juta orang, pada tahun 2009 menempati urutan kelima pengguna internet terbanyak di asia. Saat ini, kurang lebih 30 juta penduduk telah mendapatkan akses internet, dan 27 juta diantaranya sudah mempunyai account facebook, sebuah media jejaring sosial yang sangat popular saat ini. Namun, internet menawarkan banyak hal, baik maupun buruk. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan kesadaran bersama akan etika ber-Internet, demi mencapai pemanfaatan internet untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam tulisan ini dibahas tentang peran gereja dan negara serta kita sebagai orang tua maupun kaum muda dalam mencapai hal yang lebih baik tersebut.
Internet, Berkah atau Kutuk?
Internet menawarkan berbagai macam hal: jejaring, informasi terkini, pengetahuan, multimedia, games, pornografi, bahkan perjudian. Internet juga mampu memberi kita “dunia lain”, yang sering kita sebut sebagai dunia maya. Di dalamnya, kita mampu melakukan berbagai kegiatan seperti: sosialisasi, sharing, dan lain-lain. Dunia kedua ini dapat semakin menyemarakkan hidup nyata kita, tapi juga dapat menenggelamkan hidup kita, membuat kita semakin narsis, ataupun semakin individualis. Internet mempunyai efek buruk seperti narkotika yang dapat membuat kita kecanduan. Maka dari itu, ETIKA sangat diperlukan dalam “hidup kedua” kita ini.
Gereja mempunyai peranan yang cukup besar terkait dalam penanaman etika berjejaring pada setiap umatnya. Beberapa dokumen gereja terkait dengan Internet adalah: The Church and Internet dan Ethics in Internet. Kedua dokumen ini mengulas secara dalam tentang sikap gereja dalam memanfaatkan teknologi informasi ini. Dokumen-dokumen tersebut telah disusun sejak awal perkembangan internet karena Gereja menyadari betul akan harapan maupun ancaman dengan adanya media komunikasi ini.
Negara juga tidak tinggal diam melihat ledakan pengguna Internet di Indonesia. Tahun 2008, Negara Republik Indonesia mengeluarkan sebuah undang-undang, yang meskipun masih banyak polemik maupun pasal karet, namun bertujuan baik, yaitu Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Etika Ber-Jejaring (Ber-Internet)
Pada prinsipnya, etika dalam dunia maya hampir sama dengan dunia nyata. Dalam komunikasi dunia nyata, komunikasi dilakukan secara langsung dengan berbicara, yang diikuti dengan gaya bicara, sikap tubuh dan intonasi yang menentukan bentuk sikap dari pihak yang terlibat. Dalam dunia maya, seluruh komunikasi dilakukan dengan audio visual seperti tulisan, gambar, video, maupun rekaman. Gaya bicara, sikap tubuh dan intonasi ditampilkan dalam bentuk atau symbol-simbol lain, misalnya huruf kapital dan juga emoticons. Sebagai contoh, ketika kita mengirimkan email atau bahkan SMS dengan huruf kapital semua, pada umumnya akan dianggap sebagai sebuah sikap sedang marah.
Dalam dunia maya, seluruh komunikasi dilakukan dengan metode audio visual seperti yang telah diungkap sebelumnya. Hal ini membawa konsekuensi hukum yang tetap, karena semua komunikasi dapat direkam dengan mudah. Lain halnya dengan komunikasi secara langsung (berbicara). Apa yang kita ungkapkan secara langsung sulit untuk menjadi alat bukti yang sah tanpa ada saksi ataupun keterangan tertulis maupun bentuk rekaman lain. UU ITE Pasal 5 menyebutkan: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” .
Beberapa hal penting yang tertulis dalam UU ITE yang dapat menjadi pedoman bagi kita dalam ber-jejaring antara lain seperti yang tertulis dalam pasal 27 (perbuatan yang dilarang):
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan:
- Yang melanggar kesusilaan
- Yang memiliki muatan perjudian
- Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
- Pemerasan dan/atau pengancaman
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
- berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
- informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Pendampingan
Semua pihak yang terkait dengan kehidupan seseorang sangat dibutuhkan keterlibatannya dalam rangka pendampingan bagi anak-anak ataupun kaum muda dalam menghadapi globalisasi dan penetrasi teknologi yang cukup hebat ini. Orang tua, Sekolah, Gereja, Lingkungan, maupun Negara mempunyai peran masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Peran dari masing-masing entitas dalam pendampingan tidak dapat diwakilkan atau diserahkan kepada pihak tertentu. Juga, hukum, aturan atau sistem lain hanya akan menjadi alat bantu bagi kita dalam melaksanakan peran kita masing-masing.
Pertanyaan yang sering muncul adalah: Bagaimana kalau orang tua GAPTEK? Bagaimana orang tua bisa terlibat dalam pendampingan apabila mereka tidak mampu menguasai teknologi? Melakukan pendampingan bukan berarti harus mempunyai kemampuan lebih dalam bidang yang sama. Apalagi pendampingan yang diperlukan dalam hal ini adalah pendampingan psikologis maupun pemahaman. Pendekatan yang dapat dilaukan sebenarnya sama dengan pendekatan dalam hal pendidikan. Komunikasi, kemampuan sharing sangat diperlukan dalam hal ini. Kalau perlu, komunikasi juga dibangun dengan lingkungan orang yang kita dampingi, misalnya teman-temannya, maupun guru.
Apakah sensor atau filter internet kurang memadai hingga diperlukan pendampingan terus menerus? Gereja, melalui dokumen Ethics in Internet, menyampaikan bahwa “censorship...should only be used in the very last extremity” (Sensor sebaiknya digunakan hanya pada tahap ekstrim). Dengan kata lain, sensor terbaik adalah filter yang ada pada diri sendiri. Kemampuan menyaring informasi maupun apa yang akan kita sharingkan menjadi modal utama dalam berjejaring. Hal ini tentu harus dibangun dalam diri sendiri melalui pendidikan dan sosialisasi di sekolah, rumah, Gereja maupun lingkungan. Suara hati berperan penting dalam hal ini, dan suara hati selalu harus dipertajam supaya tidak dikaburkan oleh pengetahuan sesat maupun rasionalisasi ide yang tidak berguna. Suara hati inilah yang menjadi kunci utama dalam ber-Internet ala Katolik.
Penutup
Menghadapi globalisasi dan perkembangan teknologi, kita sebagai umat Katolik harus semakin peka terhadap jaman. Bagaiman teknologi dan globalisasi tersebut dapat semakin membantu kita untuk lebih dekat pada Tuhan. Teknologi dan globalisasi menciptakan dunia baru bagi kita, dan dunia baru tersebut tetap memerlukan ETIKA. Semua pihak harus terlibat dalam pendampingan anak-anak maupun kaum muda agar mereka lebih siap untuk memanfaatkan teknologi tersebut. Pertanyaan dasar yang harus dipegang teguh dalam berjejaring adalah:
- Apakah media akan kita gunakan untuk hal yang baik, atau hal yang buruk?
- Apa akibatnya jika media tersebut kita gunakan? Apakah ada yang dirugikan?
Selamat ber-TRIDUUM
Referensi
- Connor, Martin J O,. Ferrari-Toniolo, Augustine. 1971. Communio et Progressio, On The Means of Social Communication. [Online]. http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_23051971_communio_en.html. [last accessed: Oct 1, 2010]
- Foley, John P. 2002. Ethics in Internet. [Online]. http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_20020228_ethics-internet_en.html. [last accessed: Oct 1, 2010]
- Foley, John P. 2002. The Church and Internet. [Online]. http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_20020228_church-internet_en.html. [last accessed: Oct 1, 2010]
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Keywords: ethics, Internet, paper
R. SETIAWAN AJI NUGROHO
Robertus is a researcher at Soegijapranata Catholic University, Semarang. Currently, he is a visiting scientist at CSIRO Data61, Australia. Robertus received his PhD from Macquarie University in 2018 and master degree in computing and information technology from the University of New South Wales, Australia in 2009. He was a PostDoctoral Research Fellow at Dept. of Computing, Macquarie University, Australia, co-funded by CSIRO Data61. In his research career, Robertus has been granted many prestigious awards, including:
• Research Excellence Progress Award, from Dept. of Computing, Macquarie University (May 2016)
• Digital Productivity Award, from CSIRO Data61, in recognition of significant contributions in support of scientific outcomes (December 2015)
• Best Paper Award, from Web Information System Engineering (WISE) 2015, Rank A Conference based on CORE RANKING, ERA RANKING. Miami, Florida, USA
• Best Student Paper Award, from IEEE BigData Congress 2015, New York, USA (Acceptance Rate 18%)
• Postgraduate Studentship Award, from CSIRO Data61 (April 2014)
His current research interests include bigdata, social network analysis, machine learning, web engineering, and computational linguistic.
Feel free to contact him at nugroho[at]unika.ac.id
"Amo et Facio Quod Volo"