Click here to go to blog index
AFTA to AEC: simetriskah?
2011-01-11 21:10:47

Reaksi simetris terhadap suatu kejutan (shock) akan menentukan sejauh mana kemudahan dan kecepatan suatu kawasan menuju konvergensi ekonomi karena menentukan biaya ekonomi yang timbul dalam rangka penyesuaian ekonomi.

Bagaimana Indonesia dalam menghadapi AEC?
apakah kita cukup "setara" dibandingkan dengan negara lain?

ini perlu diamati, karena perkembangan terakhir kerjasama ASEAN adalah berupa pembentukan ASEAN Economic Community (AEC).
Visi ini lebih dipertegas dalam KKT ASEAN Oktober 2003 di Bali dalam Deklarasi ASEAN Concord II (Bali Concord II) yang menyatakan pembentukan komunitas ASEAN yang tediri dari 3 hal utama, yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. AEC merupakan realisasi dari aspirasi ASEAN sebagai kawasan yang stabil, makmur, mempunyai daya kompetitif yang tinggi. AEC akan berfungsi sebagai pasar tunggal dan wilayah basis produksi pada tahun 2020. Program yang ditujukan di AEC tidak saja meliputi kebebasan aliran barang, tenaga kerja, aliran modal, namun juga untuk mengurangi kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi.
Untuk menfasilitasi pencapaian AEC sesuai dengan target maka dilakukan Pertemuan tingkat menteri keuangan ASEAN (AFMM) ke 7 Agustus 2003 di Makati City Filipina menyepati Roadmap integrasi ASEAN (RIA) bidang finansial (RIA-Fin) yang meliputi 4 sektor, yaitu,
1. pengembangan pasar modal
2. liberalisasi neraca modal
3. liberalisasi jasa keuangan
4. kerja sama nilai tukar

beberapa kondisi Indonesia yang mungkin bisa jadi indikator

Posisi nilai tukar Rupiah bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN 5, memang cenderung lebih rendah. Pada masa krisis ekonomi (1997.3-1999.4), rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap Singapura$ sebesar Rp 4.815,84 dan maksimumnya mencapia Rp 8.729,29, sedangkan dengan Thailand dan Philipina relatif rendah, meskipun untuk 1 Bath dan 1 Peso, Rupiah yang harus ditukarkan sebesar Rp 205,27 dan Rp 202,19. Kondisi 6 tahun terakhir ini secara rata-rata tidak menunjukkan perbaikan kinerja nilai tukar Rupiah. Depresiasi tetap terjadi sehingga rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap Sin$ adalah Rp 5.414,59, terhadap ringgit sebesar Rp 2.454,28, terhadap Peso dan Bath masing-masing Rp 253,07 dan Rp 225,68. Bila dibandingkan dengan periode sebelum sistem nilai tukar dilepas, maka terlihat bahwa nilai tukar rata-rata saat ini jauh lebih buruk dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh intervensi Bank Indonesia terhadap stabilitas kurs sangat besar, sehingga ketika Bank Indonesia tidak lagi boleh melakukan intervensi, harga Rupiah hanya disangga oleh kinerja ekspor dan impor. Depresiasi sangat mungkin terjadi karena ekspor Indonesia relatif kurang kompetitif, dan ketergantungan Indonesia terhadap impor barang antara masih sangat besar. Nilai tukar Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, juga relatif tidak menggembirakan.

Dari sisi volatilitas rupiah terhadap mata uang asing terlihat bahwa pada periode 2000.1-2006.4 volatilitas Rupiah dibawah 4%, namun nilai maksimumnya di atas 10%. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode setelah krisis ekonomi Rupiah masih memiliki risiko yang relatif tinggi, dan bergerak secara fluktuatif. Kalo dibandingkan dengan kondisi pada masa krisis memang terlihat bahwa Bank Indonesia mampu menstabilkan nilai Rupiah dengan baik, karena selama periode krisis volatilitas Rupiah sangat tinggi. Namun bila dibandingkan dengan periode 1990-1997, dimana rejim nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar mengambang terkendali, maka terlihat bahwa perubahan rejim nilai tukar mendorong fluktuasi Rupiah yang jauh lebih besar. Kondisi ini sesuai dengan teori, karena pada saat nilai tukar fleksibel, maka stabilitas nilai tukar itu akan sangat bergantung pada perilaku permintaan dan penawaran valuta asing. Pada periode sebelum tahun 1990 terlihat volatilitas rupiah yang cenderung lebih tinggi dibanding dengan periode 1990-1997, karena pada saat itu terjadi tekanan terhadap BOP, dan adanya liberalisasi perbankan yang menekan nilai rupiah.

indikator perdagangan, terdapat kesenjangan yang cukup besar antara ASEAN 5 dan negara ASEAN lainnya. Angka inflasi pun menunjukkan karakter yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Inflasi singapura dan Brunei mampu ditekan sangat rendah sampai di bawah 2%, sedangkan inflasi Indonesia masih cukup tinggi, demikian pula dengan inflasi Myanmar yang sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan kebijakan moneter yang digunakan untuk menstabilkan inflasi tidak memiliki efektivitas yang sama

 

[catatan: tulisan ini adalah tulisan lama, 5 september 2007, namun tampaknya menjadi relevan kembali sekarang]

Keywords: International economics, AFTA, AEC

Share :
     
A. IKA RAHUTAMI

About me :

Angelina Ika Rahutami

Lecturer and Researcher

Economics Faculty, Soegijapranata Catholic University, Semarang, Indonesia