Click here to go to blog index
(Ber)arsitektur boros energi
2011-02-11 03:02:23

Maria Socorro Manguiat, legal officer divisi hukum lingkungan IUCN – The World Conservation Union tampak bersemangat ketika kami berdiskusi tentang Protokol Kyoto yang baru saja diberlakukan. Ia yang terlibat langsung dalam perjalanan pemberlakuan international treaty ini menjawab pertanyaan khusus tentang perubahan iklim global ketika saya berkesempatan mengunjungi markas IUCN yang berada kota Bonn di tahun 2005. Wanita asal Filipina ini menjelaskan secara rinci berbagai upaya menarik minat AS di masa depan dalam reduksi CO2 setelah protokol ini diberlakukan. Diantara cara legal yang ditawarkan  adalah melalui perjanjian pemanfaatan renewable energy secara spesifik.

Ratifikasi resmi Russia bulan November 2005, telah membuka jalan bagi pemberlakuan Protokol Kyoto sebagai hukum internasional mulai 16 Februari 2005 meskipun tanpa AS sebagai penyumbang emisi CO2 terbesar. Isi perjanjian (treaty) internasional tersebut sebagaimana telah banyak diketahui adalah komitmen internasional untuk mereduksi emisi CO2 yang selama ini dinilai oleh para ilmuwan yang tergabung dalam IPCCC telah mengganggu keseimbangan kanopi atmosfer bernama „the greenhouse“. Sekalipun masih perlu waktu untuk membuktikan keseriusan negara-negara peratifikasi, terutama 35 negara-negara industri dan komunitas Eropa (Annex I-Parties) dalam pelaksanaannya, namun dunia patut menyambut gembira peristiwa saat itu karena lonceng tanda bahaya perubahan iklim dan degaradasi kualitas lingkungan hidup mulai direspon dengan sikap taat.

Sejak para ilmuwan di tahun 1990 menyodorkan diagram jumlah konsentrasi CO2 di atmosfer yang meningkat 30% dibandingkan 160 tahun sebelumnya dan sejumlah bukti akibat fluktuasi iklim, seperti naiknya permukaan air laut sekitar 250 mm sejak 1860, meningkatnya temperatur udara global 0.3 – 0.6 C sejak akhir abad ke-19, atau juga ketidakteraturan musim (Peter F. Smith, 2001), kemungkinan penyebabnya mulai diperdebatkan: sekedar siklus alam atau ulah manusia? Mengejutkan karena sebagaian besar hasil penelitian memberikan  jawaban yang serupa. Emisi akibat aktivitas manusia (anthropogenic emmision) punya peran jauh lebih besar dalam masalah global ini.

Lalu apakah cukup hanya dengan mereduksi emisi CO2 kebanyakan dihasilkan dari sektor industri saja? Masih ada pesan lain dari pemberlakuan Protokol Kyoto yang juga perlu dipromosikan, yaitu pengembangan low energy technology dan renewable energy dalam berbagai sektor. Karena reduksi emisi gas rumah kaca dan polusi atmosfer bisa tercapai jika masyarakat mau beralih ke sumber energi terbarukan, seperti air, matahari, angin dan biomassa.

Konsumerisme

 Das Wachstum der Siedlungen, die Reichweite der Stadt, der Verlust von Natur und Kultur (perkembangan permukiman, perluasan jangkauan kota berarti kerugian bagi alam dan kebudayaan). Kritik tajam ini ditulis oleh Michael Koch (2001) pada bagian awal  bukunya yang mengungkapkan kerugian yang harus ditanggung oleh alam akibat dari meningkatnya kebutuhan energi dan bahan mentah dalam perkembangan kota-kota di Jerman. Menurut pendapatnya, kebutuhan tersebut akan terus meningkat sejalan dengan tingkat kemakmuran masyarakatnya. Meadow (1993) dalam buku yang sama melaporkan bahwa penduduk Eropa mengkonsumsi energi 10-30 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk negara-negara ketiga.

Lingkungan binaan (built environment) merupakan konsumen energi terbesar setelah sektor industri. Konsentrasi populasi pada pusat-pusat aktivitas perekonomian selain membutuhkan lebih banyak ruang aktivitas, lebih kompleks jejaring transportasinya juga menuntut kenyamanan dalam arti fisis yang pada gilirannya menyerap banyak energi dalam pencapaiannya. Sebagai contoh, sementara penghuni bangunan di Jerman membutuhkan pemanas ruang yang energinya 57% menggunakan minyak, sudah bukan barang baru terutama di kota-kota besar Indonesia masyarakat berlomba-lomba menggunakan AC sebagai pendingin ruang.

Boros atau hemat

Bukan dampaknya terhadap ozon yang sedang dibicarakan di sini, tapi soal pemborosan energi oleh bangunan yang seharusnya dapat dihindari. Diakui atau tidak, produk arsitektur adalah instrumen penting dalam investasi uang dan sumber daya alam. Sejak keputusan desain ada di tangan para arsitek, efisiensi bangunan dan lingkungan perkotaan dalam pemanfaatan energi telah dapat dinilai. Sejumlah pertanyaan seharusnya mulai diajukan sejak para arsitek memulai penjelajahan imajinasinya. Kenapa harus menyelubungi seluruh muka bangunan di daerah tropis dengan bahan kaca jika jelas-jelas akan memanaskan ruang di dalamnya? Jika solusinya adalah dengan menggunakan AC supaya bertemperatur serasa di Eropa, berapa besar energi listrik diboroskan untuk pengoperasiannya? Mengapa harus tetap menyalakan lampu pada siang hari jika sebenarnya bisa mengoptimalkan cahaya matahari sebagai sumber penerangan alami melalui penciptaan atrium? Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan ini dianggap mengekang kebebasan untuk bebas berekspresi. Rumit untuk dibuktikan dan diterapkan dalam desain. Tidak heran dianggap sebagai pendekatan desain yang boros energi. Terlalu banyak waktu yang harus diinvestasikan untuk menemukan detail-detail cerdik untuk diterapkan dalam sudut-sudut ruang.

Sejak motto terkenal Sullivan ”form follows function” menguasai arsitektur modern hingga saat Bernhard Tschumi mengubahnya menjadi “form follows fantasy” persoalan pokok arsitektur cenderung tidak jauh dari aspek bentuk.  Keunikan desain sering kali dipahami sebagai upaya jungkir balik dalam menemukan bentuk yang berbeda atau bahkan harus berkesan aneh.

Teknologi hemat energi

Sebagian besar energi yang digunakan berasal dari bahan fosil, seperti minyak bumi, gas bumi, batubara yang sudah melewati maksimum harvest point dan sedang menuju titik habis. “We are at the beginning of the end of the age of oil”  kata Collin Campbell seorang ahli geologi perminyakan beberapa tahun lalu (Peter F. Smith, 2001).

Tanpa adanya pengembangan dan penguasaan teknologi hemat energi, maka sebenarnya kita masih berada dalam bayang-bayang ancaman punahnya kelestarian hidup planet bumi akibat dari bertambahnya penggunaan bahan fosil sebagai sumber energi. Pelan tapi pasti, pertama akan terjadi krisis energi besar-besaran yang tentu akan  menganggu perekonomian makro, kedua bertambahnya emisi bahan bakar fosil berarti akan tetap ada gangguan terhadap keseimbangan kanopi atmosfer.

Pengembangan teknologi dengan energi terbarukan (renewable technologies) dalam hal ini merupakan solusi yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi.  Ancaman tersebut di atas pada gilirannya akan jatuh pada dua kategori utama dari rezim energi yaitu supply, yang diukur pada tingkat penggunaan sumber-sumber energi terbarukan, dan demand yang target utamanya adalah bangunan dan transportasi.

Radiasi matahari merupakan sumber utama energi terbarukan yang paling sesuai. untuk bangunan. Selain dapat langsung digunakan untuk pemanasan atau pencahayaan alami, dengan beberapa teknik dan kreatifitas desain juga dapat menggerakan udara yang bisa memberikan efek penyegaran ruang. Dari kacamata hukum internasional, exploitasi energi matahari juga relatif bebas dari konflik antar negara, karena siapapun bebas menikmati sebesar-besarnya radiasi yang mampu didayagunakan dengan kecanggihan teknologi yang dimilikinya.

Photovoltaic atau solar cell yang digunakan pada bagian atap bangunan merupakan contoh pemanfaatan energi matahari secara aktif. Pengoperasiannya adalah dengan mengubah panas radiasi matahari menjadi energi listrik yang disimpan dalam baterai. Negara-negara di Eropa yang tidak menikmati matahari sebanyak negara-negara tropis berusaha mengoptimalkan energi matahari melalui metoda ini dengan mendirikan berbagai pusat ekplorasi energi. Yang terdepan dalam teknologi ini adalah Spanyol.

Jika metoda metoda aktif membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan kerjasama dengan keahlian elektronika, maka masih ada metoda lain yang dapat diterapkan oleh arsitek melalui kecerdasan mendesain. Metoda tersebut sebagai passive design yaitu ruang dan bentuk tercipta berdasarkan kepekaan seorang arsitek dalam merespon kondisi iklim setempat ditambah kesadarannya untuk menekan pemborosan energi jika karyanya diwujudkan dalam kenyataan. Menciptakan ruang dan bentuk supaya hemat energi layak untuk dijadikan tujuan penting dalam berarsitektur di masa kini.

 

Moediartianto  

Keywords: arsitektur, energi

Share :
     
MOEDIARTIANTO

About me :

anto

Lecturer on Building Sciences

Department of Architecture

 

Curriculum Vitae


Anto Moediartianto